Minggu, 18 Juli 2010

Hakikat Manusia

A. Manusia Menurut Manusia
Socrates mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya ialah belajar tentang manusia.
Socrates (470-399 SM), Mengungkapkan pemikirannya tentang manusia. Bahwa pada diri manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan dunai. Menurut Socrates, manusia itu bertanya tentang dunia dan masing-masing mempunyai jawaban tentang dunia. Tetapi, demikian Socrates, sering kali manusia itu tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakan. Berdasarkan pendapatnya itu, Socrates berbicara dengan setiap orang yang dijumpainya untuk menggali jawaban-jawaban yang ada didalam diri orang itu dengan menggunakan metode tanya jawab yang kelaknya disebut Metode Socrates (Socratic Method). Socrates mengatakan adalah kewajiban setiap orang mengetahui dirinya sendiri lebih dahulu jika ia ingin mengetahui hal-hal diluar dirinya. Menurut Socrates, salah satu hakikat (essence) manusia adalah ia ingin tahu dan untuk itu harus ada orang yang membantunya yang bertinndak sebagai bidan yang membantu bayi keluar dari rahim ibunya. Socrates dihukum mati pada tahun 399 SM oleh pengadilan Athena dengan tuduhan mempengaruhi anak muda dengan pemikiran yang buruk.
Plato adalah salah seorang murid Socrates, ia meninggal pada tahun 347 SM. Menurut Plato, jiwa manusia adalah entitas non material yang terdapat terpisah dari tubuh. Menurutnya, jiwa itu ada sejak sebelum kelahiran, jiwa itu tidak dapat hancur alias abadi. Plato mengatakan bahwa hakikat manusia itu ada dua yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Pada bagian lain Plato berteori bahwa jiwa manusia memiliki tiga elemen, yaitu roh, nafsu dan rasio.Dalam hal hidup bermasyarakat, Plato berpendapat bahwa hidup bermasyarakat itu merupakan jeharusan bagi manusia; manusia tidak dapat hidup sendirian. Berdasarkan tiga unsur hakikat manusia, Plato membagi manusia menjadi tiga kelompok. Pertama, manusia yang didominasi oleh rasio yang hasrat utamanya ialah meraih pengetahuan; kedua, manusia yang didominasi roh yang hasrat utamanya ialah meraih reputasi, dan ketiga, manusia yang didominasi nafsu yang hasrat utamanya pada materi. Tugas rasio adalah mengontrol roh dan nafsu.
Rene Descartes (1596-1650) adalah filosof Prancis. Descartes berpendapat bahwa ada dua macam tingkah laku, yaitu tingkah laku mekanis yang ada pada binatang dan tingkah laku rasional yang ada pada manusia. Ciri rasional pada tingkah laku manusia ialah ia bebas memilih, pada hewan kebebasan itu tidak ada. Descartes berpendapat bahwa berpikir itu swangat central pada manusia, manusia menyadari keberadaannya karena ia berpikir (cogito ergo sum). Sebagai penganut rasiolisme yang sangat fanatic Descartes hanya meyakini bahwa yang ada itu hanyalah dirinya sendiri, karena satu-satunya yang ia ketahui adalah dirinya sendiri. Descartes yang mengatakan bahwa manusia memiliki emosi yang muncul dalam berbagai kombinasi yaitu cinta (love), gembira (joy), keinginan (desire), benci (rage), sedih (sorrow) dan kagum (wonder). Yang terpenting dalam pemikiran Descartes ialah pendapatnya tentang posisi sentral akal (rasio) sebagai esensi (hakikat) manusia.
Thomas Hobbes(1588-1629) adalah tokoh aliran empirisme yang terkenal dengan teori mekanis dalam psikologi. ia mengatakan bahwa dalam tingkah laku ada dasar dan ada tujuan. Ia mengatakan bahwa pada hakikatnya semua orang bersifat mementingkan diri sendiri. dengan demikian, manusia menyusun dan menyetujui semacam kontrak sosial yang mengatakan bahwa setiap orang harus manghargai dan menjaga hak orang lain. Akhirnya kontrak sosial ini lah yang menjadi salah satu hakikat manusia.
Jhon Locke(1623-1704) adalah filosof inggris. padanya yang terkenal ialah teori tabula rasa yang mengatakan bahwa jiwa manusia itu saat di lahirkan laksana kertas (istilalhnya meja lilin) kemudian diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam hidupnya. Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof besar dunia. Dia orang Jerman. Menurut Kant, manusia tidak akan mampu mengendali dirinya sendiri. Manusia mengenali dirinya berdasarkan apa yang tampak. Pendapat kant yang penting bagi dunia pendidikan ialah bahwa manusia adalah makhluk rasional,manusia itu bebas bertindak berdasarkan alasan moral, manusia bertindak bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Imannuel kant(1724-1804) adalah filosof besar dunia. dia orang jerman. Menurut kant manusia tidak akan mampu mengendali dirinya sendiri. Manusia mengendali dirinya berdasarkan apa yang tampak. Pendapat kant yang penting bagi dunia pendidikan ialah pendapatnya yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional, manusia itu bebas bertindak berdasarkan alas an moral, manusia bertindak bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri.
B. Manusia menurut Tuhan
Menurut al-qur’an, manusia adalah ciptaan Tuhan. Al-qur’an menyatakan bahwa manusia itu mempunyai unsur jasmani (material). Didalam QS. Al a’raf ayat 31 tuhan mengatakan bahwa makan dan minum bagi manusia adalah suatu keharusan. Al-syaibani (1979:131-132) mengutip hadist nabi SAW yang menerangkan bahwa manusia itu mempunyai aspek jasmani. Pentingnya fungsi jasmani dalam islam terlihat juga didalam QS. Al baqoroh ayat 57,60,168; begitu juga dalam QS.al a’raf ayat 31-32. Kesimpulannya ialah unsure jasmani merpakan salah satu esensi(hakikat)manusia. Akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia.harun nasution (1982:39-48) menjelaskan bahwa ada tujuh kata yang digunakan al-qur’an untuk mewakili qaaf ayat 6-7, kedua kata tadabbara, seperti dalam surat shad ayat 29. Ketiga kata tafakkara seperti didalam surat al-Nahl ayat 68-69, keempat kata faqiha, kelima kata tadzakara, keennam kata fahima, dan ketujuh ‘aqala. Aspek lainnya ialah ruh atau ruhani. Terdapat didlam al-qur’an antra lain dalam surat al hijr ayat 29.Al syaibani (1979:130) menyatakan bahwa manusia memiliki tiga potensi yang sama pentingnya yaiu jasmani, akal, dan ruh.
Muhammad quthb (1988:31) menyatakan bahwa aksistensi manusia ialah jasmani, akal dan ruh.
Abdul Fattah jalal mencoba membedakan antara ruh dan qolb. Menurutnya (1988:62-64) kata al qalb dan al quluub tertulis 132 kali dalam al Qur’an. Kesimpulaanya: tentang ruh kita tidak mengetahui hakikatnya, kita hanya tahu bahwa ruh itu ada, menjadi bagian dari manusia, dan ruh itu esensial. Al qalb, yang di sini diartikan ruhani, adalah tempat bersemayamnya iman.
Iman dalam al qalb atau ruhani. Ini disebutkan dalam al qur’an surat al ma’idah ayat 41. Surat al hujaraat ayat 14 lebih tegas lagi menerangkan hal itu. Menurut al-qurthubi (jalal :1988:63) kata al-quluub di baca rafa’ (al-qulubu) karena ber fungsi sebagai subject (fa’il) dan takwa di idlafat kan ( di sandarkan ) kepada kata al- qulub. Abdul fattah jalal mengutip QS. Al isro ayat 85 ia mengatakan bahwamanusia tidak akan dapat memahami hakikat ruh. Hakikat manusia menurut al-qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri atas unsure jasmani,akal dan ruhani. Konsekuensinya, pendidikan harus didesain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Quraish shihab (2000:278-279) mengatakan bahwa ada tiga kata yang di gunakan al-qur’an untuk menunjuk manusia yaitu (1) insan, ins, dan nas atau unas, (2) basyar, dan (3) bani adam dan zuriah adam. Istilah insane menurut quraish shihb(2000:280), lebih tepat di bandingkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa insane terambil dari kata nasiya yang berarti lupa atau nasa yang berarti guncang. Menurut quraish shihb, kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Manusia dinamai basyar karna kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang. Adapun istilah bani adam dan zuriah adam maksudnya ialah manusia itu adalah turunan adam, kelebihan manusia ialah :
1) Dijadikan Allah sebagai kholifah ( wakil ) di bumi (surat 2 ayat 30; surat 6 ayat 122)
2) Dimuliakan Allah dan diberi kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain(surat 17:70)
3) Diberi alat indera dan akal ( surat 16:78 ; surat 30:8 )
4) Tempat tinggal yang lebih baik dibandingkan dengan makhluk lain
5) Memiliki proses regenerasi yang teratur
6) Diberi daya berusaha dan usahanya dihargai ( surat 53:79 )


Adapun kelemahan manusia ialah sbb :
1) Manusia adalah makhluk yang lemah ( surat 4:28 ).
2) Manusia memiliki kencenderungan nakal.
3) Manusia itu sombong, dan tidak mau berterima kasih, dan mudah putus asa.
4) Manusia itu sering mencelakakan diri sendiri.
5) Manusia itu senang membantah ( QS.16:4 ;QS. 18:54 ).
6) Manusia itu bersifat tergesa-gesa.
7) Manusia itu pelit.
8) Manusia itu adalah makhluk suka mengeluh.
9) Manusia itu mempunyai kecenderungan untuk berbuat maksiat terus-menerus dan bertindak melampaui batas ( surat 75:5 ).
Al-qur’an juga menjelaskan bahwa manusia memiliki fitrah . fitrah ialah potensi. Potensi manusia itu sbb:
1) Sebagai makhluk sosial ( surat 49:14 ).
2) Sebagai makhluk yang ingin beragama ( surat 5:3 ; surat 7:172 ).
3) Manusia itu mencintai wanita dan anak-anak.
4) Mencintai ternak dan sawah ladang.
5) Manusia itu mencintai harta benda yang banyak.
6) Mencintai kuda-kuda pilihan.

C. Inti Manusia
Kesalahan yang sering muncul bahwa mendesain pendidikan secara parsial. al-syaibani ia mengatakan bahwa manusia itu terdiri atas tiga unsure yang sama pentingnya, yaitu jasmani, akal dan ruhani. Jasmani, akal dan ruhani itu membangun manusia laksana sisi-sisi sebuah segitiga sama kaki.

Akal Ruhani

Jasmani
jasmani
Pendidikan haruslah terarah membina tiga unsur itu secara proporsional. Perkembangan yang proposional itu ialah bila ketiga unsur itu sudah terintegrasi. Ciri terintegrasi dalam hal ini ialah bila setiap tindakan telah melalui pertimbangan ketiga unsur itu; setiap tindakan di-“iya”_kan oleh ketiga unsur itu.
Orang Yunani, lebih kurang 600 tahun SM telah mengingatkan bahwa tugas pendidikan ialah membatu manusia. Manusia dikendalikan oleh world view-nya; karena iman adalah sesuatu world view, maka manusia dikendalikan oleh imannya. Jadi, inti manusia adalah imannya. Inti manusia ialah sesuatu yang bersifat Ilahiyah. Kelihatannya, inti manusia itu seperti lilin yang menyala. Hadits itu tidak berlawanan dengan ayat al qur’an. Hadits itu menerangkan bahwa inti manusia ada di dalam qalbu, sama yang di jelasksan al qur’an itu. Kesimpulan bahwa inti manusia, paling esensial manusia, ialah imannya dan iman itu berada di dalam qalbu.
Peneliti Barat mengatakan bahwa kesejatian manusia adalah emosi. Ada juga yang kelihatannya lebih maju dengan mengatakan inti manusia ialah spirit. Apa yang di katakan al qur’an tidaklah berlawanan dengan apa yang di katakan peneliti Barat yang mengatakan bahwa inti manusia itu adalah emosi atau spirit. Qashar itu adalah jasmani atau tubuh empirik.

Sabtu, 17 Juli 2010

"PRAGMATISME"

Dalam keseharian kita, mungkin tidak asing dengan istilah pragmatisme. Namun dalam pengertian filosofinya, mungkin kita jarang tahu. Maka dari itu, saya mencoba melacak akar dari pragmatisme dalam pandangan filosofi. Pada awalnya filsafat pragmatisme ini dibangun bukan untuk memberikan penjelasan tentang pendidikan. filsafat ini murni menanggapi permasalahan pengetahuan. Akar dari pragmatisme tidak lain adalah filsafat Empirisme yang pertama kali di deklrasikan oleh Aristoteles. Kemudian diteruskan oleh David Hume dan teman-temannya. Sehingga sampailah pada pemikir-pemikir pragmatis ini.
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno. Lanskap Munculnya Pragmatisme
Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya secara metodis John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1685 – 1753), dan Dayid Hume (1711 – 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran pragmatis ini.
Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan. Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka.
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan “Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsip-prinsip pragmatisme baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin.
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama “keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya. la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat. Karen Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperiemntal, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.
Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional.
Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki di atas.
Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk maksud benar-benar dibutuhkan revisi dalam logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide).
Kemudian denganآ mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Pragmatisme adalah salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
Pragmatisme oleh William james

Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Makna pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Dan aliran ini menekankan pada praktik dalam mengadakan pembuktian pembenaran dari sesuatu hal yang dapat dilihat dari tindakannya yang praktis atau dari segi kegunaan.
Menurut pragmatisme, berpikir itu mengabdi pada tindakan, dan tugas pikir itu untuk bertindak. Hal ini mengakibatkan tindakan-tindakan itu menjadi kriteria berpikir dan kegunaan. Dengan kata lain, hasil dari tindakan itu menjadi suatu kebenaran.
Sebagai aliran filsafat, pragmatisme berpendapat bahwa pengetahuan mencari, bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pengetahuan bukan sekedar objek pengertian, permenungan atau kontemplasi, tetapi untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan, peningkatan serta kemajuan masyarakat dunia. Pragmatisme lebih memprioritaskan tindakan daripada pengetahuan dan ajaran, dan kenyataan pengalaman hidup di lapangan daripada prinsip muluk-muluk yang melayang di dunia. Oleh karena itu, prinsip untuk menilai pemikiran, gagasan, teori, kebijakan, pernyataan tidak hanya cukup berdasarkan logisnya dan bagusnya rumusan-rumusan tetapi berdasarkan dapat-tidaknya dibuktikan, dilaksanakan dan mendatangkan hasil.
Empirisme Radikal Wiliam James
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif.
Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme, sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
Dalam kata pengantar buku The Will to Believe (1903), James menulis sikap filsafatnya sebagai empirisme radikal. Dengan empirisnya James memaksudkan sebagai pandangan yang “contented to regard its most assured conclusions concerning matters of future experience”.Segi radikalnya terletak dalam perlakuannya terhadap ajaran monisme. Seperti kita ketahui, monisme adalah teori yang mengatakan bahwa dunia ini merupakan suatu entitas saja yang unik. Kebanyakan orang terutama kaum filosof abad lalu memperlakukan tidak demikian.
Keradikalannya, justru karena ajaran monisme sendiri ia perlakukan sebagai hipotesis. Pahamnya mengenai monisme adalah keanekaragaman hal yang membentuk suatu kesatuan yang dapat dimengerti. Dengan sikap filsafat empirisme radikal, ia menegaskan bahwa kesatuan dari kemacam-ragaman hal-hal yang memberi pengertian itu sendiri merupakan hipotesis. Dia masih harus diversifikasi benar-tidaknya berdasarkan pengalaman dan bukan begitu saja di terima sebagai dogma. Dalam buku Some Problems of Philosophy (1911), James lebih tandas mengemukakan pendirian empirisme radikalnya. Di situ, ia melawankan empirisme dengan rasionalisme.
Menurut James, para rasionalis adalah orang-orang prinsip. Sedangkan kaum empiris adalah orang-orang fakta. Seorang filosof rasionalis sebagaimana dilihat James adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh menuju kebagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum menuju yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sebaliknya filosof empirisme mulai dari yang khusus (partikuler), dari situ menuju kemenyeluruh. Ia lebih senang menerangkan prinsip-prinsip sebagai proses induksi dari fakta. Usaha sebaliknya yaitu mau memastikan suatu kebenaran yang total dan final adalah asing bagi filosof empiris. Pendapatnya ini diperketat dengan pendapatnya tentang arti kebenaran. Pendapat ini terdapat dalam bukunya, The Meaning Of Truth (1909).
Di sana ia mengartikan kebenaran pertama-tama kebenaran itu merupakan suatu postulat, yaitu semua hal yang disatu pihak bisa ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman. Dilain pihak siap untuk diuji denga diskusi. Kedua, arti kebenaran itu merupakan suatu pernyataan fakta. Artinya segala hal yang ada sangkut-pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah digeneralisasikan dari pernyataan fakta. perumusan kesimpulan ini sifatnya sudah kompleks. Inilah penegasan James mengenai kebenaran. Karena itu, bagi James, pragmatisme hanyalah merupakan suatu metode.
Dengan demikian pragmatisme James adalah metode untuk mencapai kejelasan pengertian kita tentang suatu obyek dengan cara menimbang dan menguji akibat-akibat praktis yang dikandung obyek tersebut. Dari cara James menguji teori di atas berdasarkan konsekwensi praktisnya, kita melihat garis penekanan yang sama dengan metode pragmatisme Peirce. Memang sudah menjadi rahasia umum diantara para ilmuwan dan filosof bahwa James berhutang budi banyak pada Peirce. Malahan hal ini terang-terangan ia ungkapkan “nilai prinsip Peirce yang adalah prinsip pragmatisme”. Dalam buku Pragmatism (1907), ia menulis: “ajaran Peirce tetap tinggal tertutup sampai saat saya membukanya kepada umum dalam tahun 1898. James menerapkannya dalam bidang agama.
Pragmatisme oleh Richard Rorty

Pragmatisme, yang memenangkan Amerika Serikat sebagai arus utama sebelum Perang Dunia Kedua, telah menderita lama hiatus karena dominasi gaya analitis, tetapi mengalami kebangkitan kembali, terutama melalui karya Richard Rorty (b. 1931),.
Rorty dari catatan saat ini, tapi sangat asli dan sangat dikritik karena pandangannya di ujung filsafat dan relativisme diyakini, terutama melihat dirinya sebagai seorang murid Dewey, tetapi juga menemukan inspirasi dalam besar nama "filsafat kontinental", seperti Hegel, Nietzsche, Heidegger, Foucault dan Derrida.
Pragmatisme Oleh John Dewey
Pada pragmatisme John Dewey disajikan sebagai kebalikan dari teori spectatoriale pengetahuan. Mengetahui tidak "melihat", seperti halnya misalnya dalam tradisi Cartesian (Descartes dibandingkan jenis ide untuk lukisan), tetapi bertindak. Ini mengarah pada konsep kebenaran relatif, yang pernah tanda utama pengakuan keanggotaan dalam pragmatisme. Dengan demikian, pragmatisme sering mengkarikaturkan.
Dalam Yohanes Dewey, pragmatisme lebih menyerupai suatu filsafat sosial atau praktek penelitian kebijakan. filosofi itu, "ia menyarankan, misalnya dalam Rekonstruksi dalam Filsafat, harus bereproduksi dalam bidang kebijakan sosial yang dilakukan ilmu pengetahuan modern di bidang teknologi.
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.
Pragmatisme di Perancis

Pragmatisme diperdebatkan di Perancis, misalnya, dalam Emile Durkheim, sangat kritis terhadap dirinya, dan Henri Bergson, artikel tentang "William James Pragmatisme" (di Pikiran dan bergerak ) melihat sebagai cara berpikir lebih dekat dengan pengajaran ilmu sendiri sebagai fitur Faber homo.
epistemologi konstruktivisme Jean Piaget atau Jean-Louis Le Moigne, jelas terinspirasi oleh pragmatisme,. Sebuah aliran pragmatis sosiologi telah dikembangkan di Prancis sejak pertengahan tahun 1980-an dengan penulis yang sangat berbeda seperti Luc Boltanski, Francis Chateauraynaud Alain Desrosières Antoine Hennion, Bruno Latour, Cyril Lemieux, Laurent Thevenot, tetapi penulis ini menunjukkan jarak vis-à-vis arti filosofis pragmatisme.

Secara total, pragmatisme sebagai filsafat muncul sangat marah, karena pertanyaan yang mendalam dari kebiasaan yang sebagian besar tidak menyadari dengan filosofi dasar selama berabad-abad. Itu menguji signifikansi khusus dari kegiatan filsafat, serta peranannya dalam budaya pada umumnya.
Lanskap Munculnya Pragmatisme
Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya secara metodis John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1685 – 1753), dan Dayid Hume (1711 – 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran pragmatis ini.
Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan. Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka.
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan “Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsip-prinsip pragmatisme baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin.

Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama “keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya. la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat. Karen Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperiemntal, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.
Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional.
Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki di atas.

“Gunung yang bergerak”

“dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap ditempatnya, padahal ia berjalan(seperti) awan berjalan. (itulah) ciptaan allah yang menciptakan dengan sempurna segala sesuatu. Sehingga dia maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (an-naml : 88)

Empat belas abad lampau seluruh manusia menyangka gunung itu diam tidak bergerak. Namun dalam al-qur’an disebutkan gunung itu bergerak, gerakan gunung itu disebabkan oleh gerakan kerak bumi tempat mereka berada. Kerak bumi ini seperti mengapung diatas lapisan magma tang lebih rapat. Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya daalam sejarah, seorang ilmuan jerman bernama “Alfred Wegener” mengemukakan bahwa benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun kemudian bergeser kearah yang berbeda-beda sehingga terpisah ketika mereka bergerak saling menjauh.

Para ahli geologi memahami kebenaran pernyataan Wegener baru pada tahun 1980, yakni 50 tahun setelah kematiannya. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Wegener dalam sebuah tulusan yang terbit tahun 1915. Sekitar 500 juta tahun yang lalu seluruh tanah daratan yang ada dipermukaan bumi awalnya adalah satu kesatuan yang dinamakan pangea. Daratan itu terletak dikutub utara selatan.

Sekitar 180 juta tahun lalu, pangea terbelah menjadi dua bagian yang masing- masingnya bergerak kearah yang berbeda salah satu daratan atau benua raksasa adalah gondwana yang meliputi afrika, Australia, antartika dan india. Benua raksasa adalah laurasia, yang terdiri dari eropa, amerika utara, dan asia kecuali india. Selama 150 tahun setelah pemisah ini, gondwana dan laurasia terbagi menjadi daratan-daratan yang lebih kecil.

Benua-benua yang terbentuk menyusul terbelahnya pangea telah bergerak pada permukaan bumi secara terus menerus sejauh beberapa centimeter pertahun. Peristiwa ini juga menyebabkan parubahan perbandingan luas antara wilayah daratan dan lautan dibumi. Pergerakan kerak bumi diawal abad ke-20. Para ilmuan menjelaskan ini sebagai berikut:

Kerak dan bagian terluar magma, dengan ketebalan sekitar 100km, terbagi atas lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Terdapat enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Menurut teori yang disebutkan lempengan tektonik, lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa bumi dan dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan berkecepatan 1-5cm pertahun, lempengan-lempengan tersebut terus-menerus bergerak dan menghasilkan perubahan paada geografi bumi secara perlahan setiap tahun, misalnya samudra atlantik menjadi sedikit lebih lebar.

Puisi

“Kerinduan ku pada-Mu”


Sunyi sepi malam gelap
Takut menyelimuti tubuhku
Dingin menusuk tulang
Tetapi cahaya-Mu
Menerangi kegelapan ku dengan dzikir
Hangat menghangatkan tubuhku
Menyejukan qolbuku
Ku merindukan mati ku
Ajalku kunanti
Karena hambamu ini takut
Takut untuk hidup
Hidup dalam dosa
Dosa yang menggunung
Tergoda rayuan syetan
Hitam dihatiku
Membutakan ku untuk melihat cahaya-Mu
Rasa dan cipta dalam diriku
Memberi semangat hidup
Karena aku bukanlah buih dilaut
Yang mudah diterpa oleh ombak
Tetapi aku adalah karang dilaut
Yang siap menerima hujaman dan hantaman
Ombak dilaut
Hidup dan matiku hanya untuk-Mu





Karya



Candra Kamseno

“Diselamatkannya jasad fir’aun”

“Maka pula hari ini kami selamatkan jasadmu, agar engkau menjadi pelajaran bagi orang-oramg yang datang setelah mu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda(kekuasaan) kami.” (yunus : 92).


Maurice bucaille dulunya adalah peneliti mumi fir’aun di mesir pada mumi ramses II dia menemukan keganjilan, yaitu kandungan-kandungan garam yang sangat tinggi pada tubuhnya. Dia baru kemudian menemukan jawabannya didalam al-qur’an, ternyata raja ramses II ini adalah fir’aun yang dulunya ditenggelamkan oleh Allah SWT ketika sedang mengejar Nabi Musa a.s.. injil dan taurat hanya menyebutkan bahwa ramses II tenggelam. Tetapi hanya Al-qur’an yang kemudian menyatakan bahwa mayatnya diselamatkan oleh Allah SWT, sehingga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
Perhatikan bahwa nabi Muhammad SAW, hidup 3000 tahun setelah kejadian tersebut, dengan tidak ada cara informasi tersebut (diselamatkannya mayat ramses II) dapat ditemukan beliau (karena injil dan taurat pun tidak disebutkan). Namun, Al-qur’an bisa menyebutkannya, karena memang firman Allah SWT (bukan buatan nabi Muhammad SAW).

Sadarkah kita bahwa ayat—ayat Al-qur’an telah menjelaskan apa yang telah terjadi di masa lalu dan yang akan terjadi dimasa depan. Karna ayat Al-qur’an adalah ayat dari Allah SWT.

dari mana datangnya derita???????

“tidak ada seorang pun itu menderita atas izin dari-Nya”

Didunia ini banyak orang yang merasa menderita, keluhan demi keluhan di tumpahkan atas derita yang dialaminya. Bahkan mungkin saat ini orang berfikir, adakah didunia ini orang yang tidak menderita.? ”rasanya mustahil.

Bagaimana tidak, apa lagi dizaman modern yang serba hedonis ini hidup makin lama makin sulit. Jangankan mencari yang halal, yang haram aja susah dicari. Begitu katanya. Coba saja kita survei kecil-kecilan, ketika makan siang dikantor, cobalah mengobrol dengan beberapa teman dikantor satu rekan untuk untuk membicarakan masalah kantor. Jika bahasan menuju kepada bahasan, terutama masalah kesejahteraan, muncul lah berbagai uneg-uneg, mereka menyatakan diri dengan menderita. Tidak hamya karyawan bagian bawah yang suka menyabutkan dirinya sebagai kroco” didalam perusahaan, tapi para manager atas pun merasa demikian. Semua merasa gajinya kecil, tapi kebutuhannya banyak, ada yang merasakan gajinya kecil, tapi pekerjaannya ga henti-hentinya diberikan oleh atasannya, seloroh mereka, “little-little to me, little-little to me, salary not up-up (sedikit2 kesaya sedikit2 kessaya, gaji nggak naek-naek)”, ia merasa bahwa perusahaannya telah memeras tenaganya. mreka berfikir bahwa semuanya tidak seimbang dengan gaji yang diterimanya.

Terlebih lagi ketika krisis ekonomi menderita, harga-harga tak terjangkau, barang2 sulit didapat. Kalau lah ada pasti harganya mahal, lalu mereka menyebut zaman tempat mereka hidup adalah zaman susah, zaman edan, padahal, syair ronggo warsito dalam bukunya serat kalutidha beberapa ratus tahun lalu juga telah menyebutkan waktu itu adalah zaman edan juga dengan ciri-ciri tak jauh brebeda dengan zaman sekarang “yen oro edan ora kebagian.” Kalau ga ikut gila ga bakalan kebagian. Waktu itu pun mereka sudah merasa hidupnya menderita . jadi, zaman edan pun tidak monopoli abad 21 sekarang ini.

Cobalah untuk berfikir positif dengan semua kehidupan ini, cobaan demi cobaan pasti diterima oleh setiap manusia, karena manusia hidup pasti diberikan cobaan dan jika tidak ingin menerimanya itu bukanlah yang dinamakan dengan hidup.